Tuesday, July 23, 2013

Flash Fiction: Sweet Graduation

“IPA 3”. Nama kelasku dipanggil oleh MC malam pelepasan hari ini. Kami yang sudah berbaris, mulai memasuki gedung sambil diiringi lagu yang dinyanyikan tim paduan suara guru-guruku. Rasanya.....DAG DIG DUG DUEERRR! Huh. Akhirnya ya, malam ini puncaknya segala suka duka selama 3 tahun berstatus murid SMA. Entah harus senang atau sedih. Sepertinya dua rasa itu bercampur aduk dengan rasa lainnya. Jadi hasilnya tak karuan.

Sesampainya di barisan kursi yang akan kami duduki, aku melihat layar yang menampilkan video saat MOS dulu. Ya ampuuunn, masa-masa cupu aku dan teman-temanku. Masa-masa dikerjai kakak kelas. Masa-masa yang menyenangkan dan tidak akan terlupakan. Dan.... Oh, itu si............ Aldi! Hahahahaha dia lucu sekali saat itu! Duh, melihat Aldi di video itu aku jadi flashback sendiri. Saat MOS hari ketiga di Mekarsari, saat aku kesusahan membawa barang bawaanku yang teramat berat sampai kerepotan dan akhirnya jatuh. Aldi membantuku berdiri kembali dan membawakan setengah barang bawaanku. Sejak saat itu, aku kagum atau suka atau apalah namanya. Dan rasa itu, masih sampai saat ini.

“Sa, lo nangis?” Dea menyadarkanku dari lamunan tentang Aldi.
“Hah? Ngg... Iya hehe. Duh, melankolisnya keluar deh. Gue sedih ngeliat video itu.” Aku tak sadar kalau aku sampai nangis kayak gini.
“Dasar si melankolis. Oh iya, tadi ada Aldi haha”
“Iya gue ngeliat kok. Gara-gara itu gue jadi flashback dan nangis kayak gini.”
“Iya? Ya ampun, lo sampai kapan mau nyimpen rasa itu? Ini udah akhir lho.”
Aku hanya mengangkat bahuku mendengar perkataan Dea, sahabatku.
“Gue punya ide! Lo harus bilang itu sama Aldi, malam ini! Lo juga harus foto bareng sama dia, nanti setelah kita dikalungin medali sama kepsek.”
“HAH? Nggak nggak. Gila. Gue nggak senekat itu.”
“Eh, harus nekat kali. Nggak ada waktu lain. Ini moment yang pas. Kayak di lagu kesukaan lo, And if you got something that you need to say you better say it right now cause you don't have another day.” Dea menyanyikan sepenggal lirik lagu Vitamin C-Graduation(Friends Forever).

Benar juga ya. Hmm.. Nekat sekali-kali nggak papa deh. Besok kan aku dan teman-teman lainnya sudah kembali ke Bekasi, aku juga tidak se-bis dengan dia. Kalau di cihampelas, nanti palingan juga nggak ada kesempatan. Terus kapan dan gimana mau bilangnya? Aku juga nggak tau dia akan meneruskan kuliah atau kerja dimana.
“Oke. Tapi lo bantuin gue.” Aku menghembuskan nafas. Semangat Alsaaa!!!

*****

Huwaaaaaa akhirnya tadi aku berani nyamperin Aldi di barisan bangku kelasnya! Eh, ditemenin Dea deh. Hehehe. Dia ramah banget nyambut kedatanganku. Cieelaahh. Senangnya kebangetan deh! Dia mau foto bareng sama aku, beberapa kali malah. Kami juga sempat ngobrol dan obrolan kami itu ditutup dengan pernyataan aku. Pernyataan kalau aku suka sama dia sejak MOS dan rasa itu masih bertahan sampai sekarang. Dia cukup kaget mendengarnya. Lalu dia tersenyum, belum berkata apapun juga di detik ke 15. Rajin banget ya aku hitungin waktu kayak gitu? Aku jadi salah tingkah karena diamnya dia, sampai aku pamit nggak jelas karena rasanya maluuuu banget. Aku pikir dia pasti mikir yang enggak-enggak tentang aku. Jadi, aku putuskan untuk pergi. Tapi, saat aku mau mulai melangkah, dia menahanku.

“Tunggu, Sa. Jangan pergi.” Aku membalikkan badan. Dia menatapku dengan tajam. Aduh, aku nggak kuat dengan tatapan itu. “Aku juga suka sama kamu... Sejak kita MOS ” Sambung Aldi. Aku melotot. Apaaa? Aku nggak salah dengar kan?!!! Kyaaaaaaaaa. Ternyataaaa. Huh. Malam yang sangat menyenangkan! Aku pasti mimpi indah.

Nikmatun Aliyah Salsabila [10 Terbaik - Juara 1]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Aku, Kamu, dan Hujan

Aku merindukanmu.
Satu kalimat yang selalu terlintas dalam benakku
Apa kabarmu?
Satu pertanyaan yang selalu menghantuiku,
saat aku menatap langit mendung berawan
Masih ingatkah kau pada saat itu?
Saat rintik hujan membasahi tanah,
saat gerimis menyenandungkan kebersamaan kita.
Aku rindu masa itu.
Kini, hujan bercerita kepadaku,
Tentang waktu yang kembali ke masa itu.
Cerita tentang kita,
yang menjadi kepingan dari cinta yang tak sempurna
Cerita tentang aku, kamu, dan hujan.

Steven.
Satu nama yang selalu terlintas saat hujan turun, dan sekarang perih masih menggelayuti hatiku. Aku langkahkan kakiku di tanah pekuburan ini, mendung masih bertahan di langit sana. Kuhentikan langkahku saat aku tiba di sana, di tempatmu berada. Pusara dengan namamu itu sudah berkali – kali kukunjungi.

Aku masih ingat saat itu, saat kamu datang ke taman itu, dengan pakaian basah kuyup karena hujan mengguyurmu. Saat kamu menyatakan cintamu kepadaku. Tapi empat tahun kemudian, hujan juga yang telah mengambilmu dariku. Untuk selamanya, dalam tabrakan maut itu. Saat itu ibumu menelepon, mengabarkan bahwa kamu telah pergi, tanpa meninggalkan sepatah katapun untukku. Saat itu dunia terasa menjadi lebih gelap. Tangispun sia-sia, karena saat itu, tetes air mata takkan sanggup membuatmu kembali ke sisiku.

Lama aku berdiri diam di sana, mengucap semua kata rindu dalam hati. Mengucap doa untukmu. Mencoba kembali merasakan kehadiranmu di sini.
“ Li, ayo kita pulang. Kamu sudah dua jam di sini. ” Kata Dion.
Aku masih bergeming di tempatku berlutut.
“ Lia “ Katanya sambil menyentuh bahuku. “ Kamu nggak bisa begini terus, kamu harus mencoba merelakannya. Ini udah empat tahun “
“ Aku udah ikhlas kok Di. Aku cuma kangen. “ Sahutku lirih.
Aku berdiri. Setelah menatap beberapa detik ke arah langit yang mulai gerimis, aku berjalan perlahan meninggalkan pusaramu, bersama Dion yang menuntunku. Kupandang langit lagi setelah beberapa langkah. Kepada gerimis yang turun, kubisikkan cintaku untukmu. Berharap pesan itu akan sampai kepadamu di sana.

Josephine Adelia [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: My Edelweiss

Dimulai dari langit yang sangat gelap dipenuhi taburan bintang yang bersinar , aku berada di sebuah mobil yang terus berjalan menyusuri beberapa kota menuju Gunung yang akan didaki. Diam dengan rasa lelah kami beristirahat sejenak dengan beralaskan matras dan diselimuti parasit menghabiskan sisa malam.

Terlihat jelas sunrise yang begitu indah. Tepat didepanku terhampar luas lautan berwarna  hijau berbentuk  segitiga sehingga terlihat jelas jalur – jalur  yang berliku. Aku bersama sahabat – sahabatku mulai merapihkan peralatan dan persiapan pendakian. Aku mulai menyusuri jalur yang terus beranjak seperti ular tangga. Semangat pendakian bersama sahabat - sahabat yang tak kenal lelah dan memiliki sebuah mimpi berada diatas puncak dengan langit senja berwarna merah tembaga.

Pepohonan hijau, udara yang segar membuat aku dan sahabat – sahabatku semakin semangat menyusuri jalur itu. Akhirnya kita tiba disebuah puncak yang dikelilingi padang luas berwarna biru dan putih. Aku mencoba berteriak sambil melompat-lompat dan berpelukan bersama sahabat-sahabatku. Kemudian mataku terarah pada sebuah bunga berwarna putih suci sebagai symbol keabadian, aku berniat  memetik dan menyimpannya untuk seseorang yang aku cintai. Senja pun tiba, aku dan sahabat – sahabatku berniat untuk pulang, setengah perjalanan sudah ditelusuri dan aku tersandung pada sebuah bongkahan batu yang besar sehingga aku terperosok disebuah jurang yang sulit aku ketahui seberapa dalamnya. Aku berteriak meminta pertolongan, sahabatkupun mulai sigap menolongku dengan sebuah tali. Aku merasakan kesakitan saat bejalan dan tubuh yang tidak sanggup untuk aku gerakan. Hanya satu yang ingin aku selamatkan saat itu adalah bunga keabadian.

Keadaan yang sulit aku ungkapkan karena kejadian di gunung itu. Terbaring lemas aku di rumah sakit dengan tubuh yang sulit sekali untuk digerakan. Saat aku membuka mata ada sosok wanita berambut bergelombang seperti ombak dengan mata yang sembab. Aku mencoba mengerakan tanganku agar dia sadar bahwa aku ingin menyentuhnya, Wanita itu ternyata sahabat terbaikku. Tangisan yang tak henti-hentinya, sambil mencoba menggenggam tanganku. Aku berusaha berkata, agar sahabatku mengerti dan mencoba memahami apa yang aku katakan. Dia meninggalkanku, mengambil celana yang aku pakai saat pendakian dan mengambil setangkai edelweis dari kantongku yang akan diberikan kepada seseorang yang aku cintai. Sahabatku menangis, memelukku dan berjanji bunga keabadian ini adalah symbol keabadian cintamu terhadapnya.

Isni Rindayani [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Untitled

Tiba-tiba takdir membawaku ke tempat ini lagi, tempat dimana aku dan kamu terbiasa menghabiskan waktu bersama. Tempat dimana aku dan kamu selalu menatap bintang yang sama, mengukir cerita tentang cinta, impian, juga cita-cita.

Aku melihat ini, rerumputan yang habis dimakan waktu namun tidak mampu menghilangkan jejak sepatu tua yang biasa kau gunakan sebagai alas duduk kita berdua. Aku mencium ini, bau basah tanah pada musim penghujan yang tak juga sanggup menyamarkan aroma tubuhmu yang membuatku damai.

Kau dan aku sepakat menyebut ini kenangan. Namun mampu kah hati ini bekerja sama menyudahi perasaan, saat harum sosokmu bahkan terasa sangat nyata ditempat ini?

 Aku tak pernah menyangka akan ada hari dimana aku dan kamu dipisahkan atas nama takdir. Aku bahkan tak pernah sempat menyampaikan arti dari setiap desiran lembut dihatiku saat kamu menggenggam tangan ini, saat kamu merengkuh tubuh ini dalam pelukan lalu menyebarkan aroma khas yang selalu ku suka.

Aku menyukaimu bahkan terlanjur mencintai sosokmu yang begitu menenangkan. Tetapi takdir terus menjalankan tugasnya tanpa mau menungguku mengatakannya terlebih dahulu sebelum akhirnya kehilangan kamu untuk selama-lamanya. Bisakah kau merasakanku? Merasakan cinta tulus ini saat aku bahkan masih bisa merasakan sosokmu hadir disini, saat ini ditempat yang kau namakan dengan: surga aku dan kamu...

Shinta Amel [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Pelangi Sehabis Hujan

‘Maafkan aku, Net. Aku gak bisa melindungi kamu lagi sekarang. Jaga diri kamu ya. Aku sayang kamu.’ Setelah Vino mengucapkan beberapa kalimat tersebut, matanya pun terpejam dan tak terbuka lagi...

“Woy, Net! Pagi gini udah bengong. Lo kenapa?” Ria menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku.
“Aduh, Riaaaaa! Bikin kaget aja deh lo.” sahutku kesal. Melihat mukaku ditekuk, Ria malah tertawa sambil menaruh tasnya dan duduk disampingku. Yap! Ria adalah sahabatku sejak SMP. Selama di SMA kami duduk satu meja, dan hal itu yang membuat kami sangat akrab.
“Lo kenapa, Net? Mikirin Vino lagi ya?” Ria menatapku lembut sambil mengusap bahuku. Mendengar nama itu, pikiranku kembali kepada kejadian tahun lalu. Kejadian kecelakaan yang membuat orang yang kusayangi memejamkan mata untuk selamanya. Kecelakaan yang membuatku kehilangan teman masa kecilku, sekaligus orang yang bisa membuatku tersenyum dalam keadaan apapun. Sekarang orang itu tak akan kembali lagi. Vino... Tiba-tiba mataku panas dan air mataku turun begitu saja.
 “Udah ya, Net. Jangan nangis lagi. Oh iya, kan besok kita udah masuk masa liburan nih, kita jalan-jalan yuk? Ke rumah gue yang di Bogor. Mau ga? Sekalian ziarah ke makam Vino.” Aku hanya menunjukan ibu jariku, tanda setuju dengan sarannya itu.

*****

“Ri, masih jauh ya?”
“Aduh, Neta. Ini dikit lagi kok, itu gapura makamnya udah kelihatan.” Aku mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Ria.
Vino, sebentar lagi aku akan ketemu ama kamu.Vin, aku kangen...  “Net, udah sampe nih. Ayo turun.” Ucapan Ria menyadarkanku. Kami menghampiri makam Vino, lalu berdoa dan meletakkan sebuket mawar di atas batu nisannya. ‘Telah beristirahat dengan tenang: STEVINO PRANATTA - 24 Februari 2012’ Aku menangis melihatnya, Ria merangkul pundakku dan berinisiatif untuk membawaku kembali ke mobil.
Tiba-tiba ada seorang cowok yang mengulurkan tangannya dihadapanku. “Gio.” satu kata keluar dari. Aku dan Ria hanya diam tanpa membalas. “Sorry. Gue Gio, sahabatnya Vino. Lo Neta kan?” tanyanya sambil melihat ke arahku, aku pun hanya mengangguk. “Gue boleh ngomong sebentar ama lo? Berdua aja.” Mendengar perkataan Gio, Ria langsung melihat ke arahku sambil memberi isyarat bahwa dia akan menunggu di mobil. Sejenak kami berdua hanya berdiam.
“Ada apa?” tanyaku akhirnya.
“ Vino sering banget cerita tentang lo, bahkan hampir setiap ketemu ama gue. Buat dia, elo itu berarti banget, Net. Dia pernah bilang, kalo suatu saat dia gak bisa jagain lo lagi, dia mau gue yang jagain lo.” Aku tidak bisa berkata apa-apa. “Net, lo baik-baik aja kan? Gue berusaha cari tau keadaan lo, tapi susah banget. Dan akhirnya gue ketemu lo disini. Lo lagi liburan kan disini? Boleh minta nomor lo?” Karena malas berlama-lama, aku pun mengambil pulpen dan menuliskan sederet angka di tangannya, lalu segera pergi. Vino, siapa dia? tanyaku dalam hati.

*****

Aku berpikir kalau Gio hanya main-main dengan perkataanya, dan ternyata dugaanku salah. Setiap hari dia mengirimiku sms, menelponku, bahkan mengajakku jalan-jalan. Gio, orang yang baik, lucu, humoris dan aku merasa nyaman berteman dengannya. Dan menurut Ria pun, Gio pribadi yang menyenangkan. Aku sangat menikmati dua minggu liburanku bersamanya. Sampai tiba saatnya aku harus pulang ke Jakarta dan Gio mengajakku untuk mengunjungi makam Vino lagi. Hanya aku.

*****

Gio duduk di samping makam Vino, “Net, gue ngajak lo kesini karena mau minta ijin ama sahabat gue.” Aku hanya terdiam menatap makam orang yang paling kusayangi itu. “Vin. Gue janji akan melindungi orang yang paling lo sayang ini. Dan gue harap, lo memberi ijin untuk gue menyayangi dia.” Pandangan Gio pun beralih ke arahku, “Reneta, gue gak mau liat lo sedih terus. Mungkin memang kita baru ketemu, tapi percayalah bahwa gue udah kenal lo dengan baik, melalui Vino. Hujan di hati lo biar berhenti sekarang, Net. Percayakan gue sebagai pelangi yang akan menghapus hujan itu.” Aku sudah tak mampu berkata-kata lagi. Kemudian Gio melanjutkan pernyataannya, “gue memang bukan Vino. Tapi, gue bisa berusaha memberikan yang terbaik buat lo.” Tanpa kusadari air mataku terus membasahi kedua pipiku. Gio menghampiriku dan memelukku. Di bahunya lah semua air mataku jatuh tanpa terkendali.
“Terimakasih, Gio.” Hanya itu yang mampu kukatakan dan kurasa Gio mengerti maksud dari ucapanku. Hujan akan segera berakhir. Dan pelangi itu akan segera datang. Terimakasih Vino telah mengenalkan dia untukku, ucapku dalam hati.

Oktofiani Suharli [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Pilihan Hati

Mata kami bertautan, bertemu di satu titik. Aku bergeming. Tak menyangka akan melihat mata hitam dibalik bingkai kaca itu kembali. Mata milik seorang laki-laki di masa lampau.

“Kau…,” ia menunjuk ke arah ku, “Kau, apa kabar?” Ia menyunggingkan senyumnya.
         
Aku tertegun melihat senyumnya. Senyuman yang selalu menyapa ku di pagi hari, dulu. Bertahun-tahun yang lalu, “Aku, aku baik baik saja. Kau sendiri?” Jawab ku terbata-bata.
         
Belum sempat laki laki di hapanku menjawab, seseorang menyentuh lengan ku. Aku menoleh. Ah, ternyata Fatan, kekasih ku. Aku memandang mereka secara bergantian. Dua laki laki penghias hidupku. Namun bedanya, laki laki berkacamata di hadapanku hadir bertahun-tahun yang lalu. Dan Fatan, tak lebih dari orang yang baru ku kenal dua tahun yang lalu. Dan sampai saat ini terus menemani ku.

Aku bergeming. Tiba tiba kenangan itu muncul kembali. Seperti sebuah kaset yang di putar. Aku terlempar saat aku bertemu dengan laki laki berkacamata itu. Saat aku menemukannya di perpustakaan sekolah. Kemudian samar samar aku melihat bayangan saat kami berjalan berdua. Memecah hujan di kala senja. Lalu saat ia mengucapkan cinta. Saat kami berjalan menelusuri kota. Atau saat berlibur di luar kota. Dan.., saat ia mencium kening seorang wanita. Bukan kening ku, melainkan kening teman ku.

Aku mendesah dalam hati. Apakah aku masih mencintainya? Tanya ku sendiri. Waktu yang kami lalui tak sebentar. 3 tahun, 3 tahun kami merajut kasih. Bukan hanya kisah yang hilang lalu di sapu angin. Bukan kisah yang tenggelam bersama gelombang. Bukan kisah yang ditelan oleh waktu dan keadaan. Namun kisah yang membuat ku senang sekaligus sedih saat teringatnya.

Namun aku yakin, aku tidak mencintainya. Atau lebih tepatnya, pernah mencintainya. Ia sudah mempunyai kesempatan bersama ku, dulu. Namun ia menyia-nyiakan begitu saja. Dan bertahun-tahun yang lalu aku berjuang untuk bangkit. Bangkit dari segala keterpurukan. Aku tak ingin mengulang nya kembali. Maka biarkan aku mencari obat untuk sayap sayap ku yang telah patah. Dan aku menemukan Fatan. Laki laki yang menjadi obat dari segala kepiluan.
         
Setelah berbincang-bincang sebentar, aku dan Fatan berpamitan. Meninggal laki laki berkacamata itu sendirian. Aku menggamit lengan Fatan, ku pandang ia dalam-dalam. Dan ini lah pilihan ku. Aku yakin tidak salah, Aku mencintainya. Biarkan aku pergi Rian, kenanganmu mungkin masih terkenang. Namun aku yakin, hati ku telah memilih Fatan. Maka biarkan aku bahagia bersamanya. Aku juga ingin membuktikan padamu; bahwa aku, atau wanita lainnya tak pantas untuk di sia-siakan. Dan semoga kau juga bahagia dengan pengganti ku. Ucap ku dalam hati.

Fatimah Asriani [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Azka Yang Ku Benci

Aku selalu benci anak kecil itu. Dia selalu disayangi, diperhatikan, bahkan dia diistimewakan. Aku tidak tau apa yang orang-orang liat dari anak kecil ini, dia hanya anak laki-laki berumur 5 tahun, menyebalkan, dan uhh... intinya dia menyebalkan. Entahlah kenapa aku sangat membencinya, mungkin karena nasib dia begitu beruntung dibanding denganku. Aku dan Azka adalah kakak adik. Aku berumur 17 dan perbedaan kami sangat jauh. Aku ditumbuhkan sebagai remaja cantik, yang dulunya sangatlah disayangi orangtuaku, keluarga besarku, bahkan mereka sangat memperhatikan hal kecil tentangku, seperti keseharianku diluar rumah, apa yang aku suka, teman laki-lakiku, dan semuanya. Tapi tidak lagi, semenjak anak itu hadir dibumi ini. Perhatian seluruh keluarga ini terpengaruh dalam kebiusan matanya yang coklat dan pipinya yang selalu menggembung.

Semua orang menyukainya, tidak dengan aku. Karena anak kecil itu, ketika aku sakit, aku tidak diperhatikan lagi, padahal, sakitku dengan Azka hanya beda 3 hari yang setelah itu disusul aku, sedangkan semua, memberikannya semangat agar Azka cepat sembuh, menyayanginya, memperhatikannya, dan menjaganya. Aku memang sudah besar, tapi aku juga tetap membutuhkan kasih sayang keluargaku, terutama orangtuaku. Aku membutuhkan itu kembali!!!

Maka, ketika aku diberikan kepercayaan merawat Azka, aku menerimanya dengan senang hati, memperlihatkan senyum manisku yang selalu kupajang ketika harus merawat Azka. Ketika rumah sudah sepi, aku melihat Azka sedang bermain dengan bola kecil yang digenggamnya. Aku tersenyum kepadanya, dan diapun ikut tersenyum, melihat itu aku menggeram dan langsung menggendongnya. Lalu, dengan hati-hati dan memastikan tidak ada yang melihat, aku menaruh Azka dibelakang kemudi mobil, dan ketika sudah sampai ditempat tujuan. Aku menaruh Azka begitu saja dilantai, membiarkan Azka merasakan dinginnya lantai marmer yang tanpa alas, sambil memberinya bola biru bertuliskan ‘Azka’. Dan aku sudah melaksanakan tugasku, menaruh Azka jauh dari kehidupanku. Di gudang sebuah rumah tua. Dan tidak lama lagi, Azka memang akan benar-benar jauh dari kehidupanku. Aku pun tersenyum, dan menutup pintu gudang rapat-rapat.

Hari sudah siang, dan aku memutuskan untuk kembali ke rumah sambil menenteng Milkshake Coklat kesukaanku, dan ketika aku ke rumah, suasana membuatku tercengang. ‘Happy Birthday Azki 18th. We Always Love You’ banner besar itu ada didinding rumah, dan semua keluarga besarku, tersenyum, membawa kue, dan kado, sambil menghampiriku mengucapkan selamat, doa, dan semua tidak dapat mengubah kesadaranku. Aku tetap diam. Mamaku menghampiriku, dan memberikan aku sebuah gambar yang tidak jelas tapi meskipun begitu aku tau kalau itu adalah aku. Dan disudut kanan atas ada tulisan yang membuatku semakin diam tanpa kata-kata ‘Azka sayang kakak Azki yang baik’.

“Azka buat ini untuk kamu, kamu tau kan kalau adik kamu itu suka gambar, liat nih muka kamu, ini buatan dia loh, dia buat ini hampir seminggu, buatnya dikamar mama. Sampe dia gak mau tidur kalau belum nyelesain. Lucu ya adik kamu.. Eh.., loh..., Azki..., Mau kemanaa???”

Aku tidak memperdulikan suara teriakan mama, aku mengemudikan mobil seperti orang kesetanan, tidak memperdulikan setiap mobil-mobil yang membunyikan klaksonnya. Ketika sampai, aku berlari, menerobos, dan membuka pintu gudang dengan tidak sabar. Dan ketika pintu itu terbuka, bau anyir tercium, dan kulihat adikku, duduk lemas bersandarkan dinding. Aku menghampirinya, memeluknya, dan aku mendengar suara yang selama ini ingin sekali aku enyahkan, dia mengatakan “Azka sayang kakak Azki”

Claudia Putri [10 Terbaik - Juara 2]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Thursday, July 18, 2013

Flash Fiction: Dari Buku Jadi Cinta

Semua berawal dari kecintaanku terhadap buku, kebiasaan membacaku sejak kecil membawaku kepada hari ini dimana setiap satu bulan sekali aku rutin mengunjungi toko buku Gramedia di kotaku. Aku dikenal sebagai gadis remaja rumahan yang gemar membaca. Hingga aku mengenal cinta pun lewat membaca. Ya tepatnya aku belum pernah jatuh cinta.

Aku melangkah dengan cepat menuju toko buku, hingga seorang lelaki bertopi menabrakku dengan keras dari arah samping, dan membuat kami terjatuh tapi lelaki bertopi itu segera bangkit dan berkata “Ups sorry, lagi buru-buru nih ”. Lalu dia meninggalkanku yang masih terduduk di lantai. Bukannya apa-apa selain aku kaget tapi juga terpesona oleh sosok ganteng lelaki yang tadi menabrakku. “Kenapa gak seperti adegan di televisi sih, habis nabrak terus ngajak kenalan “, ocehku sambil lalu masuk ke toko buku yang hanya tinggal beberapa langkah lagi.

Aku berkeliling mengitari rak-rak yang berjajar rapih untuk mencari buku yang hendak aku beli. Saat aku melewati rak ke empat, betapa terkejutnya aku karna menabrak seorang lelaki bertopi. Dan itu lelaki yang tadi menabrakku. Ya tuhan kenapa dia lagi, batinku. Aku melihat ekspresi yang sama pada raut wajahnya. Kali ini aku yang salah, maka ku beranikan diri untuk sekedar bicara “Hmm maaf ya gak sengaja”, ucapku malu-malu. Entah kenapa kata-kata ku barusan dia balas dengan senyum geli, huh sebal memang ada yang salah dengan kata-kataku barusan?. “Sekarang impas ya?satu sama“ ucapnya masih dengan senyumnya yang seakan membuatku meleleh.

Kami kembali sibuk masing-masing, tapi sungguh aku tidak bisa konsentrasi dan terus saja melirik lelaki bertopi yang kini hanya berjarak beberapa langkah dari tempatku berdiri. Beberapa kali kugeleng-gelengkan kepalaku untuk menepis keingin tahuanku pada lelaki itu. Aku mengambil buku yang lain pada rak buku, tapi ada tangan lain yang juga sudah memegang buku itu. Lelaki bertopi tadi, dan sialnya buku itu hanya tinggal satu. Dengan sama-sama tidak mau mengalah terjadi adegan tarik menarik buku tersebut. Hingga aku melepas genggamanku pada buku itu, karena tarikannya yang lebih kuat. “Aku yang lihat buku itu duluan“, Protesku.
“Tapi aku lebih butuh buku ini“ Balasnya.
“Aku juga butuh buku itu“ Kataku tak mau mengalah.
“ Oke kalo gitu sekarang kita tanya petugasnya apa masih ada lagi buku ini“. Lelaki itu celingukan mencari petugas toko buku dan segera menghampiri saat dilihatnya salah satu petugas yang sedang membereskan buku di pojok rak.

Aku mengekor dari belakang dan hanya terdiam menyaksikan lelaki itu berbincang dengan petugas yang segera memeriksa stok buku di komputer. Tidak perlu waktu lama untuk mengetahui kalau buku itu hanya tinggal satu, sehingga memunculkan ekspresi wajah yang tidak jauh berbeda dari kami. “Sudah jangan cemberut begitu, buku ini aku bawa ya. Kenalkan namaku Lingga“, dia mengulurkan tangan. “Keyla“, aku membalas uluran tangannya dengan malas, jelas sekali terlihat senyum puas dari wajahnya.
“ Berapa nomor telfon kamu?” tanyanya sesaat setelah ia mengeluarkan handphonenya.
Aku tak langsung mejawab karena bingung. “Lain kali kalo kamu mau, kamu boleh kok pinjam buku ini. Berapa nomer kamu?” katanya lagi.

Aku menyebutkan deretan angka yang segera dia catat dalam handphonenya, dan tak lama setelah itu handphone ku bergetar.

“Itu nomerku, jangan lupa telpon aku kalau kamu mau pinjam buku ini ya“, katanya sambil berlalu meninggalkanku.

Aku masih saja terdiam di tempat, entah apa yang ku rasakan. Rasanya kesal karena buku yang aku cari direbut oleh Lingga, tapi aku juga senang baru kali ini ada yang mau mengajakku kenalan. Rasanya jantungku berdebar lebih cepat. Ya mungkin lain hari aku akan mencoba menelfon nya. Itu pun kalau aku berani bicara. Apa ini yang disebut cinta? ☺

Vintania Sari [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13

9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Ternak Cinta

Diam-diam dan terus mengendap-endap, harus begitu terus! Supaya nggak ketahuan. Wiihhhh ada banyak banget yang bisa aku jadikan korban untuk malam ini! Ada beberapa ekor ayam dan beberapa ekor kambing  bakalan pesta besar-besaran nih, pikirku.

“Shutt...wan!” Panggilku dalam bisik. “kayaknya lo harus embat kambingnya 2 ekor aja! Mobil gue nggak muat, lagian ntar berisik lagi kalo kebanyakkan!”

Ridwan yang berada dibelakang hanya mengangguk tanda mengerti akan apa yang aku perintahkan. Kami berdua sudah biasa mencuri hasil ternak disekitar daerah sini, dan alhamdulillah belum ketahuan sama siapapun. Kalau sama Tuhan dan Malaikat sih pasti udah ketahuan banget dan udah penuh banget list dosaku dan si kunyuk dibelakang ini, kasian yang nyatet.

Aku mengambil 8 ekor ayam dengan santai dan hati-hati juga, sudah biasa dan tak perlu takut sih. Yang aku takut tiba-tiba azab Tuhan dateng pas lagi kayak gini! Sebenernya sih kami nggak mau ikut pencurian gini, aku sama Ridwan gini-gini ngerti agama kok. Yah cuma dipaksa kayak gini sama komplotan Genk yang bikin kita nggak berkutik sama sekali. Ancemannya itu lho!

Dan bener aja azab itu dateng! Kali ini kambing yang akan diangkut si Ridwan murka banget, suaranya berisik! Arhhhh terkutuklah kau kambingggg, jeritku dihati.

“HEYYYY KALIANNNNNNNNN, JANGAN KABURRRRRRRRR!” teriak Sang pemilik ternak sambil berlari menghampiri kami. “ BELEGUK SIA!” dan emang nyatanya kita sial! Nggak bisa gerak soalnya, kaku banget ini badan!

Kirain yang punya ternak itu Orang tua yang rentah sekali, dan jelek gitu deh. Taunya, spesies manusia tampan nan gagah yang datang menghampiriku! Ohhhhh, pikir apa aku ya Tuhannnnnn, “Vixy ini lagi keadaan genting dan harga dirimu dipertaruhkan disini! JAIM Woy!” titahkku pada otakku yang koslet.

“KALIANN...upfttt” Serunya terputus.Karena tanganku refleks sekali membekap mulutnya, ahhh aku bisa menyentuh paras yang berseriiiiii Ya Tuhannn. Aduh mikir yang nggak beres lagi, kan!!

“Aduh bang jangan teriak dong! Kita cinta damai nih!” bisikku masih membekapnya, si bego malah malah diem aja. Mati aku kalo bos tahu aku gagal! Nyawaku nih nyawakuuuuuuuuu!

Tiba-tiba saja dengan sekali sentakkan bekappanku runtuh dan dengan cepat langsung dia memelintir tanganku, terkutuklah si ganteng ini! “Lo! balikkin semua hewan ternak gue ke tempatnya sekarang! Kalo berani kabur nyawa melayang!” Desis ancamnya dengan sadis. Aku bingung yang maling siapa sih?! Kok jadi nih bocah yang ngancem.Kampret emang! Perasaan aku nggak amatiran.

Aku dan Ridwan sudah mengembalikkan semuanya ke kandang, tinggal berharap kalo si bos nggak ambil nyawa kami nanti.Tapi ngeri juga kalo dikeroyok warga kampung dan masuk penjara, emang dasar Azab nggak ada yang enak.

“Maaf, mas. Makasih sekali lagi, kami janji nggak akan maling disini lagi.” Ucap Ridwan dengan polosnya, ntar dikira mau maling ditempat lain deh. Dia meperhatikkan aku dan Ridwan, terutama sih aku. Mungkin dia terpana, padahal aku pake masker. Tapi gak masalah, toh dia ganteng, aduh jangan sampai salting aku ketara sama nih kampret!

“Sebenernya gue marah banget! Tapi karena gue becrjiwa heroik, jadi gue bisalah nego. Lagian kalian maling amatiran kok.” Seenak jidat dia kalo ngomong! dengan tajam dia menatap mataku seakan tahu apa yang aku pikirkan. “Serahin jam tangan Adidasnya! Kalo nggak gue teriak!” gilaaaaaa nih si ganteng tau aja ini jam mahal! Ehhhhh, dikira belinya pake daun yak! Adidas Original iniiiiii! Dengan kepasrahan aku memberikan jam mahal kesayanganku, arghhhh kalo aku bawa alat khusus untuk maling udah aku remukkin nih si ganteng! Ah nggak usah muji nih orang lagi deh!

“Oke, thanks. Udah sana pergi!” usirnya. Ridwan langsung menarikku, seakan tahu apa yang aku rasakan. Arghh nggak ikhlassss, aku sumpahin tuh tangan langsung gatal-gatal. Dan yang terakhir aku liat dia malah nyengir kegirangan sambil mengelus jam tanganku! Dasar peternak ganteng yang kampret! Sadis banget malahan seneng-seneng. Aku menderita, oyyyyyyyyyyyyyyyyyy!!!

Jasmine Zulnaisah [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

Flash Fiction: Maaf

Aku ingin mati, Ya, itulah yang kurasakan sekarang. Aku tak pernah membayangkan perasaan ini datang. Walaupun aku tahu suatu saat rasa ini akan memburuku. Tapi tidak secepat ini.

Sudah 13 tahun aku menjadi seorang pembunuh bayaran. Membunuh sudah menjadi udaraku bernapas. Dan senjata kecil bermata dua ini seperti istriku yang setia. Tak pernah ada seekor tikus pun yang meleset jika sudah menjadi targetku. Tak heran, orang-orang bejat yang memakai jasaku sangat memuji hasil karyaku mencabut nyawa-nyawa yang mereka mau. Bahkan mereka tak segan-segan memberi bayaran lebih.

Dan kau kira aku senang melakukan semua hal itu? Kau salah. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa. Jijik pun tidak. Dan ini semua berkat ayahku. Ku beritahu kau. Dialah yang jahat. Dia mengajariku keagungan dari seni membunuh sejak aku masih kecil. Tidak, sejak masih di dada ibuku. Inilah kebanggaan keluargaku. Inilah kutukanku. Itulah sebabnya aku tidak mempunyai perasaan sama sekali. Perasaan hanyalah pengganggu yang bisa membuat celah kegagalan. Dan aku selalu berhasil menyingkirkan perasaan berkat ajaran ayahku. Setidaknya sampai hari itu.

Seharusnya aku sudah memperhitungkan semuanya. Mulai dari siapa targetku, aktivitas target, kesukaan, kelebihan, sampai kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa menggeser rencana. Tapi kenapa aku tidak lihat dia? Kapan dia masuk ke ruangan itu? Apa disaat aku membobol pintu? Saat aku menebas leher para penjaga? Ah, tidak mungkin. Tidak ada jeda waktu yang panjang saat pemberesan itu. Dan tidak mungkin ada yang lolos dari pengelihatanku.

Seorang bocah berusia delapan tahunan tiba-tiba keluar dari lemari ketika aku menyayat nadi pria yang tidur di sofa dekat situ. Ya, dia melihat semuanya.

Tidak ada yang lolos. Seru suara yang ada di telingaku. Sigap saja kuambil tongkat golf dekat situ. Langsung kuhantam ke badan anak mungil itu. Darah segar mengucur dari setiap lubang di tubuhnya. Hidung, mulut, bahkan mata. Tidak ada yang lolos... tidak ada yang lolos...

Dan saat itu pulalah aku melihatnya. Iblis jahanam yang terlihat seperti ayah. Mengangkat tongkat golf dengan seorang malaikat kecil di depannya. Sama seperti yang kulakukan. Tunggu, itu memang diriku. ITU AKU!   Kakiku goyah seketika, pandanganku kabur. Tidak mungkin aku seperti ayah. Dia memang mengajariku banyak hal. Tapi sejujurnya aku tak pernah mau menjadi seperti dia. Aku lakukan ini semua karena inilah yang keluargaku lakukan selama bergenerasi. Aku tak tahu harus apa lagi selain melakukan hal ini. Dan aku sangat membenci ayah karena menjadikanku monster.

Aku monster.
Kuhancurkan cermin setan itu. Aku lari. Kabur. Meninggalkan malaikat kecil tergeletak tak berdaya di sana. Entah ia masih bernapas atau tidak.

Dan di sinilah aku sekarang. Di tepi jurang ini aku ingin mati. Suara riuh rendah beriringan mulai ramai di belakangku. Dua, tiga, lima mobil polisi segera berhenti. Gemuruh kaki dan arahan pistol berlaras panjang serta bisikan komunikator siap memulai drama penangkapan yang hebat. Beberapa penembak jitu pun juga tak luput mendapatkan peran. Satu gerakan saja hujan peluru pasti akan berlomba-lomba menembus tubuhku.

Aku pejamkan mata sambil menunggu saat itu tiba. Tapi sebelumnya ijinkan aku mengucap kata yang tak pernah kubayangkan akan terlewat dalam pikiranku padamu. Maaf......

Maria Rosari [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU