Thursday, July 18, 2013

Flash Fiction: Maaf

Aku ingin mati, Ya, itulah yang kurasakan sekarang. Aku tak pernah membayangkan perasaan ini datang. Walaupun aku tahu suatu saat rasa ini akan memburuku. Tapi tidak secepat ini.

Sudah 13 tahun aku menjadi seorang pembunuh bayaran. Membunuh sudah menjadi udaraku bernapas. Dan senjata kecil bermata dua ini seperti istriku yang setia. Tak pernah ada seekor tikus pun yang meleset jika sudah menjadi targetku. Tak heran, orang-orang bejat yang memakai jasaku sangat memuji hasil karyaku mencabut nyawa-nyawa yang mereka mau. Bahkan mereka tak segan-segan memberi bayaran lebih.

Dan kau kira aku senang melakukan semua hal itu? Kau salah. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa. Jijik pun tidak. Dan ini semua berkat ayahku. Ku beritahu kau. Dialah yang jahat. Dia mengajariku keagungan dari seni membunuh sejak aku masih kecil. Tidak, sejak masih di dada ibuku. Inilah kebanggaan keluargaku. Inilah kutukanku. Itulah sebabnya aku tidak mempunyai perasaan sama sekali. Perasaan hanyalah pengganggu yang bisa membuat celah kegagalan. Dan aku selalu berhasil menyingkirkan perasaan berkat ajaran ayahku. Setidaknya sampai hari itu.

Seharusnya aku sudah memperhitungkan semuanya. Mulai dari siapa targetku, aktivitas target, kesukaan, kelebihan, sampai kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa menggeser rencana. Tapi kenapa aku tidak lihat dia? Kapan dia masuk ke ruangan itu? Apa disaat aku membobol pintu? Saat aku menebas leher para penjaga? Ah, tidak mungkin. Tidak ada jeda waktu yang panjang saat pemberesan itu. Dan tidak mungkin ada yang lolos dari pengelihatanku.

Seorang bocah berusia delapan tahunan tiba-tiba keluar dari lemari ketika aku menyayat nadi pria yang tidur di sofa dekat situ. Ya, dia melihat semuanya.

Tidak ada yang lolos. Seru suara yang ada di telingaku. Sigap saja kuambil tongkat golf dekat situ. Langsung kuhantam ke badan anak mungil itu. Darah segar mengucur dari setiap lubang di tubuhnya. Hidung, mulut, bahkan mata. Tidak ada yang lolos... tidak ada yang lolos...

Dan saat itu pulalah aku melihatnya. Iblis jahanam yang terlihat seperti ayah. Mengangkat tongkat golf dengan seorang malaikat kecil di depannya. Sama seperti yang kulakukan. Tunggu, itu memang diriku. ITU AKU!   Kakiku goyah seketika, pandanganku kabur. Tidak mungkin aku seperti ayah. Dia memang mengajariku banyak hal. Tapi sejujurnya aku tak pernah mau menjadi seperti dia. Aku lakukan ini semua karena inilah yang keluargaku lakukan selama bergenerasi. Aku tak tahu harus apa lagi selain melakukan hal ini. Dan aku sangat membenci ayah karena menjadikanku monster.

Aku monster.
Kuhancurkan cermin setan itu. Aku lari. Kabur. Meninggalkan malaikat kecil tergeletak tak berdaya di sana. Entah ia masih bernapas atau tidak.

Dan di sinilah aku sekarang. Di tepi jurang ini aku ingin mati. Suara riuh rendah beriringan mulai ramai di belakangku. Dua, tiga, lima mobil polisi segera berhenti. Gemuruh kaki dan arahan pistol berlaras panjang serta bisikan komunikator siap memulai drama penangkapan yang hebat. Beberapa penembak jitu pun juga tak luput mendapatkan peran. Satu gerakan saja hujan peluru pasti akan berlomba-lomba menembus tubuhku.

Aku pejamkan mata sambil menunggu saat itu tiba. Tapi sebelumnya ijinkan aku mengucap kata yang tak pernah kubayangkan akan terlewat dalam pikiranku padamu. Maaf......

Maria Rosari [10 Terbaik]
Gramedia Matraman 29 Juni'13
9th Anniversary & Gathering Teenlit GPU

No comments:

Post a Comment